Still… (8)

Epilogue


Aku menamai mereka Sora, yang berarti “langit” dan Hoshi yang berarti “bintang”. Sora adalah laki-laki baik yang suka menolong, tapi di samping itu ia juga ingin menjadi novelis berbakat. Hoshi adalah gadis imut yang memiliki impian besar, namun kadang ia bersikap pesimis. Continue reading

Still… (7)

Episode 6


Aku duduk di salah satu kursi di Brooklyn Parlor, cafe ala New York yang berada di Shinjuku. Ya, cafe yang biasa kukunjungi bersama Seiichi-kun dan Emika-san. Menikmati secangkir kopi sambil membaca buku dan mendengarkan alunan musik yang merdu, tempat ini membuat pengunjungnya serasa di Amerika. Continue reading

Still… (5)

Episode 4


 

“Wah, Anda berbakat.” ucapku, memuji hasil gambar yang telah dipotret oleh Suzuki-san.

“Diri Anda-lah yang membuat foto ini terlihat sempurna.”

“Anda terlalu berlebihan.” Baru kali ini aku dipuji oleh kata-kata manis seperti itu. Bahkan orang tuaku tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun yang bisa membuatku bersemangat untuk melangkah maju. Teman-teman, para penggemar, rekan-rekan, dan Ryuuto-lah yang ada di sisiku dan selalu mendukungku. Continue reading

Still… (3)

Episode 2


 

Aku Chikafuji Emika, 23 tahun.

Impianku adalah menjadi sosok yang dikenal masyarakat luas. Namun sejak kecil, aku selalu tidak percaya diri. Bahkan, keinginanku itu ditentang oleh orang tuaku. Dulu, kakakku yang seorang aktris mengalami kecelakaan di tempatnya bekerja hingga ia meninggal. Orang tuaku pun khawatir jika hal seperti itu terjadi untuk kedua kalinya. Apalagi karena kebiasaanku yang agak ceroboh. Continue reading

Still… (2)

Episode 1


 

Namaku Suzuki Tomoya, 24 tahun.

Tiga tahun yang lalu, aku bertemu seorang gadis. Saat itu, ia seperti sedang menghadapi suatu masalah yang amat rumit. Dengan segenap keberanian dan percaya diri, aku berusaha untuk memberinya semangat. Namun saat hendak berpisah, kami tidak saling bertanya nama satu sama lain. Dan hingga kini aku masih ingin menemuinya dan menanyakan namanya, namun hal itu mungkin terdengar mustahil. Continue reading

Still… (1)

Prologue


 

Pertama kali aku melihatnya sedang duduk sendirian di bangku taman, memandang jatuhnya daun-daun pepohonan yang memerah. Syal merah dan topi wol yang menutup sebagian wajahnya, mendorong niatku untuk mendekat.

“Musim gugur. Indah, ya?” Perlahan aku duduk di sampingnya, ikut menyaksikan Momiji* yang berjatuhan dan mulai membentuk bukit. Continue reading